Minggu, 06 Juli 2014

Mendapat pelajaran setelah membaca novel "Rembulan Tenggelam Di Wajahmu"



Sudah lama sekali aku tidak posting apa-apa di sini?
Apa kabar? Kata itulah pertama kali ingin ku katakan pada kalian yang menyempatkan singgah untuk melihat blog ini, dan sebagian pasti berkata, ah blog curhatan galau remaja tanggung. Atau manusia putus asa yang sudah tidak tahu lagi harus menumpahkan unek-uneknya di tempat seperti apa, buang-buang account....
Memang ini semacam curhat, aku tidak terbiasa curhat sama orang lain, dan aku juga tidak terbiasa menulis panjang-panjang di buku diary...
Satu minggu yang berat, kenapa berat? Beberapa hari yang lalu, Ibuku pergi ke kantor dinas dan mendapatkan berita bahwa jadi PNS sekarang minimal harus berkuliah di kampus yang terakreditas B... sementara aku belum yakin kalau kampus itu terakreditas B atau bahkan C saja aku tidak yakin... tapi. Lalu aku bertanya “aku harus berbuat apa?” lalu Ibuku menawarkan pindah ke kampus lain, kampus yang lebih besar, kampus yang otomatis terakreditasi B dan pindah dari Kota yang sudah membuat aku bosan...
Tapi tidak semudah itu, aku  mendengar berita itu setelah penutupan pendaftaran mahasiswa baru selesai beberapa minggu lalu. Di tambah lagi, itu mendadak dan tidak mungkin orang tuaku bisa dapat uang tunai dengan segera. Hal hasil pupus harapan yang sudah aku gantung lama, aku menunggu kesempatan itu, aku menunggu selalu...
Aku mengutuk diriku, bagaimana ini? Lalu aku mulai sadar, kenapa aku harus galau setengah mati. Alasan aku semangat untuk pindah kuliah atau aku rela meninggalkan kuliahku yang sekarang memasuki semester tiga untuk mengambil jurusan yang memang aku minati, itu karena orang tua ku bilang mereka akan mengulihiku Jogja. Sejak kelas dua smp aku bermimpi menjadi penulis, aku bermimpi melihat buku-buku ku di pajang di rak-rak toko buku, di rak-rak perpustakaan, di baca oleh orang-orang, dan dibicarakan. Itulah alasan kenapa aku senang sekali ingin pindah, bukan aku berharap menjadi PNS kelak lulus kuliah. Namun setelah semua nya penjelasan dari orang tuaku bahwa mereka tidak bisa langsung memindahkan ku di tahun ajaran baru, karena begitu mendengar berita itu mereka harus melepaskan salah satu investasi mereka, namun tampaknya sia-sia yang berminat beli malah mengurungkan diri.
Hari itu aku berencana, hari itu juga Allah menjawab bahwa belum saatnya kamu pindah, atau bahkan belum saatnya kamu menginjakkan tanah kelahiranmu. Hari tak berpihak pada ku... dan berhari-hari aku diam, lantas aku bertanya, “apa yang harus aku lakukan? Bertahan dan mungkin tak berarti apa-apa?” lalu hari-hari itu aku hanya menghabiskan untuk menonton film di laptop dan baca novel, hanya kegiatan itulah yang ampuh untuk menghilangkan galauku.
Aku baca novel karangannya Om Tere Liye... “Rembulan Tenggelam Diwajahmu” sebelumnya aku pernah membaca karyanya yang berjudul “Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin” aku kagum dengan pemikirannya, kapan aku bisa seperti dia? Apakah dengan hanya menetap di pulau ini aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi ku. Entahlah
Pada Bab 17 Aku Sepotong Koran Tua, halaman 169
Aku mulai tersadar satu hal, aku mulai menyimak kata demi katanya memaknai kata demi katanya, sebelum aku menjelaskan makna yang ku dapat dari membaca tulisan itu, aku akan salin kata-kata itu tanpa ada yang ku tambah-tambahi.


***
....
“Aku tahu, malam itu saat kau memutuskan untuk melakukan apa yang diminta Plee, itu bukan semata-mata karena Plee pintar mengendalikan orang lain. Tetapi karena kau sudah amat sebal dengan pertanyaan-pertanyaanmu. Kau berkali-kali mengutuk di atas tower air itu, kenapa orang-orang jahat selalu dimudahkan jalannya, kenapa orang-orang baik sebaliknya.
“pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian di Rumah Singgah. Tiga tahun kejadian... kau terpaksa pergi dari rumah itu karena perbuatan jahat orang lain, itu yang pertama. Kau menyalahkan begundal – preman itu kaena merusak lukisan Ilham, itu yang kedua. Kau menyalahkan preman-preman itu karena menghancurkan mimpi-mimpi Natan,  itu yang ketiga... tiga hal yang mengganggu. Meskipun tiga-tiganya sebenarnya bukan muasal utama kenapa pertanyaan apakah hidup ini adil bagimu. Tapi ketiga hal itu menjadi katalis, memperbesar petanyaan intinya. Baik lah... aku akan menjawab dulu tiga bagian ini sebelum melanjutkan menelusuri muasal utamanya,” orang dengan wajah menyenangkan itu menghela napas.
Ternag. KRL akhirnya keluar lagi dari terowongan.
Sementara langit semakin jingga, senja yang indah di Ibukota. Warna jingga berpendar-pendar di kaca-kaca gedung pencakar langit. Jalanan padat. Orang-orang kembali dari kerja. Awan putih bagai kapas yang sekarang terlihat kemeraha-merahan. Membungkus langit, burung layang-layang melengkung menggoda pasangannya.
“Satu. Kau berkali-kali bilang, kau terpaksa pergi dari rumah itu karena perbuatan jahat orang lain, kau menyalahkan preman-preman itu... kau keliru, Ray. Siapa yang menyuruhmu pergi? Tidak ada, bukan? Bang Ape? Dia tidak pernah menyuruhmu pergi. Tahukah kau, Bang Ape justru mencarimu sepanjang tahun. Menelusuri bus-bus. Bertanya ke sana-kemari. Dia pikir ketika kau pergi dari kantor polisi setelah berteriak-teriak, itu hanya kemarahan sementara, kau akan kembali ke Rumah Singgah.
“Bang Ape keliru, kau tidak pernah kembali. Sepanjang tahun Bang Ape dan anak-anak berusaha mencari jejakmu. Jadi siapa yang menyuruhmu pergi? Jiwa muda serba tanggungmu-lah yang terlalu cepat mengabil kesimpulan. Terlalu cepat menyalahkan orang. Oude dan Ouda bahkan jahil membuat pengumuman di sepotong kertas, ‘DICARI! HIDUP ATAU MATI!’”
Orang dengan wajah menyenangkan itu tertawa. Melambaikan tangan, mengabaikan ekspresi tidak tahu Ray,  “Kau memang tidak tahu itu, karena kau tidak peduli. Beberapa kali kau melihat kertas itu, tapi karena kau tidak peduli, kau bahkan tidak mengenali foto wajahmu sendiri.”
Ray terdiam, mengusap wajahnya.
“Dua. Sekarang tentang Ilham. Kasat matanya yang baru kau tahu Ilham gagal mengikuti pameran besar itu. Kasat matanya kau menyalahkan preman-preman itu. Menyalahkan langit yang membiarkan orang-orang jahat itu. Kata siapa Ilham gagal? Ah, ketika dulu aku harus menjawab tiga pertanyaan dari manusia pilihan yang kuizinkan mengikuti perjalananku, kasusnya juga sama seperti kau, dia juga hanya melihat hal-hal kasat mata.... kau tahu, tanpa dirusak sekalupun, Ilham tetap tidak akan bisa ikut pameran lukisan itu. Kenapa? Karena kaluan terlalu melebih-lebihkan kemampuan Ilham. Terutama kau dan Bang Ape. Lukisan Ilham biasa-biasa saja. Kalau saja hari itu dia berhasil menyerahkan lukisan itu ke kurator museum, maka musnah sudah harapannya menjadi pelukis terkenal. Kurator itu tidak akan pernah lagi mempercayai penilaian Bang Ape. Lukisan itu biasa-biasa saja. Tidak lebih. Tidak kurang.
“Sepuluh tahu kemudian, saat Ilham sudah benar-benar siap, kesempatan baiknya baru datang. Kau tidak tahu memang, karena Ilham selama sepuluh tahun itu selain belajar bagaimana membuat lukisan yang lebih baik, juga mendapatkan bonus dari kegagalan sebelumnya: belajar tentang kerendahan hati. Ilham memutuskan untuk tidak menuliskan namanya di setiap lukisannya.
“Bukankah diruang kerjamu menjulang tinggi, di gedung konsorsium bisnis menggurita milikmu ada satu lukisan yang amat istimewa? Lukisan yang kau beli dalam pelelangan. Lelang terbesar dan termahal. Itu lukisan Ilham sebulan sebelum meninggal. Itulah maha-karyanya. Dibuat khusus untukmu. Lukisan purnama yang indah.”
“Lukisan itu?” I-l-h-a-m?” pasien itu tercekat. Matanya membulat. Sebenarnya dua hendak bertanya, apakah Ilham sudah meninggal? Tapi yang keluar dari mulutnya hanya kalimat itu.
“Ya itu lukisan Ilham. Anak itu meninggal di usia tiga puluh. Hanya menikmari masa-masa hebatnya selama enam bulan. Tapi dia mendapat penghujung yang baik. Tidak peduli meski hanya berbilang bulan. Apakah hinup ini tidak adil bagi Ilham, Ray? Apa yang akan terjadi jika lukisannya tidak dirusak  oleh preman-preman  yang kau benci?” orang dengan wajah menyenangkan itu tersenyum.
Pasien itu berumur enam puluh tahun itu tertunduk.
“Tiga. Tentang Natan. Dia memang kehilangan semua mimpi-mimpinya dari sisi yang terlihat. Dia tidak akan pernah menjadi penyanyi. Itu yang terlihat. Kasat mata. Tapi tahukah kau, langit memberikan apa yang sebenarnya Natan cita-citakan. Apa yang sebenarnya Natan ingin lakukan. Kau tahu fakta itu, fakta Ayah Natan pergi meninggalkan ibunya... Ibunya meniggal karena sakit hati. Sejak tahu dan mengerti kisah hidup menyakitkan itu, Natan bermimpi menjadi seseorang yang bica menggerakkan hati.
“Natan benci sekali dengan ayahnya, bagaimana mungkin ayahnya tega meninggalkan mereka. Bagaimana mungkin hati manusia bisa sejahat itu. Dan Natan bermimpi menjadi kalan untuk melumerkan hati orang-orang. Itulah cita-citga terbesar miliknya. Kau tahu bagaimana melumerkan hati orang? Menjadi penyanyi hanyalah satu dari banyak cara, Ray. Dan langit memberikan kesempatan lain yang lebih hebat kepada Natan.
“Natan akhirnya menjadi penggubah lagu. Dia menciptakan ratusan lagu yang menginspirasi banyak orang untuk berbuat baik. Banyak orang tidak menyadari lagu yang dinyanyikannya telah menginspirasi dirinya, apalagi untuk menyadari kalau itu lagu Natan. Kau tahu, lagu bisa magis sekali. Kekuatan lagu ciptaan Natan tidak akan pernah sehebat itu jika dia hanya menjadi penyanyi. Dengan lumpuh, kehilangan suara, itu justru menjadi energi luar biasa baginya... apakah hidup menjadi tidak adil bagi Natan?
“Ray, kehidupan ini selalu adil. Keadilan langit mengambil berbagai bentuk. Meski tidak semua bentuk itu kita kenali, tapi apakah dengan tidak mengenalinya kita bisa berani-beraninya bilang Tuhan tidak adil? Hidup tidak adil? Ah, urusan ini terlanjur sulit bagimu, karena kau selalu keras – kepala.”
Pasien itu terpekur. Semua penjelasan ini menyesakan. Dia tidak tahu itu semua. Dia tidak tahu kalau ada skenario lain di balik banyak kejadian menyakitkan tersebut.
....
***
Setelah baca cerita di atas, aku mulai menyadari. Buat apa aku mengutuk diriku? Buat apa aku menyalahkan kedua orang tuaku? Buat apa aku menyalahkan keadan? Dan buat apa-buat apa lainnya. Aku menyadari bahwa aku putus asa sekarang, bahwa aku mengutuk diriku bahwa aku tidak akan bisa menjadi apa-apa kelak. Tapi orang pernah berkata pada ku “Hari ini apa yang kita lakukan kemarin, sementara besok apa yang kita lakukan hari ini” dan “Masa lalu adalah kenangan dan Masa depan adalah Misteri”
Dan pertanyaan Ray yang kedua tentang “apakah hidup ini adil?” Ya hidup ini adil, setelah aku membaca kisah Natan dan juga Ilham. Mereka akhirnya mendapat mimpi-mimpi mereka...
Akupun ingin begitu, setidaknya aku yakin di balik kejadian hari ini akan ada skenario baik dari ALLAH...

Dan aku yakin, untuk tetap berkuliah di tempat sekarang, aku akan akhiri dengan apa yang aku mulai, dan aku malas pergi atau malas menyingkir... aku akan tuntaskan semua dengan baik... lalu ... tidak masalah tidak menjadi PNS karena sebenarnya semua keluargaku lah yang wanti-wanti buat aku jadi PNS saja, karena semua keluarga juga PNS... Kakekku seorang pensiunan PNS... lalu anak=anaknya sekarang akan menelurkan cucu yang juga PNS... walaupun nanti akhirnya aku di takdirkan jadi PNS setidaknya aku tak memaksa sekarang, dan setidaknya aku sudah berjuang untuk meraih mimpi-mimpi dan cita-cita utamaku...
Begitulah aku memaknai part cerita dari novel ini,... setiap pembaca berhakkan memaknai dari segala segi, karena kita semua tidak satu pemikiran bukan...

Dan satu lagi daftar orang yang ingin aku temui, yaitu Om Tere Liye... meski semua daftar orang itu belum ada satupun berhasil aku bertemu...

Terima kasih Om Tere Liye atas kisah-kisah yang menkjubkan dari Novel-Novelnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar