Minggu, 31 Maret 2013

Cuma ngepost

Namanya juga corat-coret jadi nggak  jelas... maklum aja... bacanya perlahan-lahan aja

happy reading



       Masa kecil adalah satu hal yang ingin aku ulangi, dimana tak ada urusan orang dewasa yang mesti kami kerjakan kami fikirkan. Dimana saat-saat itu hanya ada yang namanya tawa dan canda, menyatu dalam tubuh mungil dan kumuh. Tapi itu terjadi 12 tahun silam bersama empat orang sahabat setia yang sampai saat ini masih berdampingan denganku, itu semua sudah tertimbun bersama seribu urusan dan kerjaan masa dewasa kami.
       Siang itu aku janjian bersama mereka di sebuah caffe tempat favorit kami bersama ketika SMA, sejak saat itu kami berempat aktif nongkrong di cafe yang di berinama cafe piter. Tempat yang asyik untuk nongkrong, pemiliknyapun sudah sejak lama kami kenal. Aku sendiri sering mencari inspirasi untuk tulisan di cafe itu. Bukan hanya aku saja tapi ketiga temanku yang lainnya juga sering mencari inspirasi atau sekedar buang galau ke cafe itu.
       “Skripsi terus nold!” ucapku kepada Arnold saat kami janjian di cafe Piter, dia asyik dengan laptopnya. dia adalah orang yang paling mencintai kuliner kerjaannya Cuma makan setiap kali kami janjian, tapi semenjak dia asyik dengan skripsinya kebiasaannya itu sudah lumayan lama dia tinggalkan.
       “Iya, dan coba elo liat nih rambut gue udah hampir botak!” jawabnya sambil memegang rambutnya, tak lama setelah itu dia malah menutup dengan paksa laptopnya.
       “Dan sebentar lagi mirip sama Pak Bambang dosen kiler yang jidatnya kayak lapangan golf itu!” ujar cewek super resek yang sejak dulu selalu ikut kemana aku pergi, namanya Franda. Dia emang lugu tapi dia juga jago berantem.
       “Maksud elo! Nggak baik lho ngina dosen kayak gitu!” ucapku sambil menyedot alpukat jus, yang aku pesan tadi.
       “Nggak maksud apa-apa kok!” ucap Franda sambil menyerobot Jus alpukatku, “Nggak kuliah Silla?”
       “Nggak!” ucap aku, kami berempat memang sama-sama kuliah tapi kami berbeda jurusan. Sementara aku dan Franda asyik ngobrol, Arnold malah sibuk makan dengan makanannya yang dianggurinnya sejak tadi.
       “Skripsi buat gue nggak selera makan sama sekali!” ujarnya sambil makan terus tanpa berhenti.
       “Apanya yang nggak selera makan, elo sendiri makannya buset!” ucap Franda sambil mengangkat-angkat piring yang telah kosong, “Tapi elo kok nggak gemuk-gemuk ya nold?”
       “Iya dong Arnold!” ucapnya membagakan diri, tapi memang benar kata-kata Franda seberapa banyakpun Arnold makan tetap aja dia nggak gemuk-gemuk.
       “Eh, si Leo kemana ya?” tanya Franda sambil memainkan Hpnya, aku dan Arnold dengan serentak menjawab menggunakan bahu saja.
       “Hello semua, pasti nyariin guekan?” ucapnya PD “Sorry ya gue tadi abis pemotretan sama artis cantik banget!”
       “Siapa Leo?” tanya Franda dengan takjub.
       “Biasa aja kali!” ucap Arnold sambil membuka laptopnya, dan mulai browsing main Facebook. Kalau udah ngumpul begini mana ada ceritanya ngerjain pekerjaan lagi, aku saja mulai malas untuk menulis kalau sudah ada tiga anak resek ini.
       “Namanya Mariska, dia model gue untuk edisi minggu ini!” ucap Leo memberikan fotonya.
       “yang bener Yo, aduh asyik banget ya bisa jadi model!” ucap Franda, aku dan Arnold tidak terlibat di percakapan itu, kami berdua malah asyik chatting di fb, padahal kami berdekat-dekatan.
       “Cewek tipe macem elo nda, kagak bakalan keterima deh!” ucap Arnold melepaskan pandangannya dari laptop dan memandang kami bertiga, “Palingan juga buat model koran bekas buat bungkus tempe!”
       “Bercandanya keterlaluan, Franda itu cantik tahu!” ucapku dan Franda mulai tersenyum manis kepadaku, “Dia itu pantesnya buat model etalase toko jual pembasmi hama!” kami semua mulai tertawa terbahak-bahak.
       “Eh stop-stop! temenin gue seminar yuk!” ucap Franda menghentikan tertawaan kami.
       “Seminar demo buat cake, males ah!” ucap Leo sambil mengotak atik kameranya.
       “Ye siapa juga yang mau ikutan begituan, makanya dengerin dulu!” ucap Franda melempar kentang goreng ke muka Leo.
       “Jorok lo!” ucap Arnold yang ternyata kentang yang di lempar oleh Franda jatuh ke keyboard laptop Arnold, Leo tertawa geli melihatnya.
       “Trus seminar tentang apa?” tanya ku sambil melepaskan pandanganku dari tab yang senantiasa menemani hari-hariku. 
       “Tentang bisnis!” ucap Franda membuat aku, Arnold, dan Leo terkejut mendengarnya, kamipun setuju ikut dengan Franda. Setelah dari Cafe itu kami langsung berjalan menuju tampat seminar yang di adakan salah satu kampus kebanggaan salah satu dari kami berempat, itu kampus Leo tapi aneh kenapa Leo sendiri tidak tahu sementara Franda yang kampusnya paling jauh aja tahu ada seminar bisnis disana.
       “Leo kenapa elo nggak tahu kalo di kampus elo ada seminar?” tanyaku sambil menatap kearahnya.
       “Kenapa ya gue nggak tahu?” dia malah balik bertanya seperti mencandaiku.
       “Jelaslah dia nggak tahu, dia kan masuk kampus kalau ada kuis, tes, UTS, sama uas aja!” ujar Arnold sambil khusyuk menyetir mobilnya.
       “Sembarangan ya elo ngomong, sekali-sekali gue juga ikut masuk kok!” celetuk Leo sambil menghentikan aktifitas BBMannya, sementara aku melihat-lihat sekeliling mobil keren ini dan berantakan, Arnold memang begini dia selalu menjadikan mobilnya sebagai kamar pertamanya. Karena orang tua yang telah lama broken home, dia lebih sering memilih untuk tinggal di dalam mobil ini dari pada tinggal dirumah.
       “Kangen gue sama Mike!” ucapku ketika aku temukan foto kami berlima tertempel di kaca jendela belakang mobilnya, aku lupa menceritakan mike teman lamaku dia orang yang memiliki ambisi kuat bahkan dia lebih dulu lulus ketimbang kami. Dia ingin menjadi seorang pakar bisnis di mancan negara, memberikan seminar-seminar berguna untuk mahasiswa. Itu cita-citanya, sudah sejak kami SMP dia pergi ke Amerika untuk mengejar semua mimpinya. 
       Ya dia lebih dulu mengejar mimpi ketimbang kami, dia rela meninggalkan sahabatnya demi mimpinya. Dia pernah berjanji kepada kami untuk mengirimkan e-mail, tapi tak pernah terjadi. Ketiga temanku sudah terlanjur kecewa padanya tapi aku tidak karena aku yakin dia tidak akan melupakan kami semua, dia pernah bicara padaku bahwa kami segalanya dalam hidupnya, bahkan sampai matipun dia tidak akan pernah melupakan persahabatan kami.
       “Kenapa sih sil, dia terus! Udah lah mungkin dia sudah dapat tree mangga-tree mangga lain!” ucap Leo yang tampak tidak senang dengan ucapanku tadi, tree mangga-tree mangga maksud Leo adalah lambang persahabatan kami, berawal dari pohon mangga di kebun milik Pak RT disekitaran rumah kami berlima, kami bertemu disana ketika sama-sama berniat untuk mengambil mangga itu tanpa izin.
       “Tree mangga akan menjadi lima tetap lima sampai mati!” ucapku kekeh, bagiku Mike tetap sahabat, dia tetap ada dihati kami berempat, meski Leo, Arnold, atau pun Franda tidak pernah mengakui itu, buktinya gelang yang di berikan Mike sebelum dia pindahpun masih apik melingkar di pergelangan tangan mereka.
       “Gue lagi nggak mood mau bahas itu ya sekarang!” ucap Franda sambil  mengkotak-katikkan hpnya.
       “Sila, Mike mungkin udah lupa sama kita! Jadi sudahlah” ujar Arnold menengahkan semua permasalahan, Arnold memang bersikap dingin tapi Arnold mungkin mempunyai perasaan yang sama dengan ku. Kalau dia memang benci dengan Mike kenapa poto masa kecil kami yang masih ada mikenya masih apik dia simpan.
       “Udah nggak usah di bahas, siapa yang bahas gue tonjokin satu-satu!” ucap Leo akhirnya membuat kami terdiam, sesaat suasana didalam mobil terasa garing. Tidak ada tawa tidak ada canda, suasana ini harus segera berakhir atau nanti akan menjadi berhari-hari.
       “Ya udah! Selesai nih galau-galaunya sekarang kita mesti pikiran kalau misalnya di tanya apa yang mesti kita jawab!” ucapku sekedar berbasa-basi pada mereka.
       “Eh Sila, otak elo jangan di tinggal kalau mau ke seminar, pikirin bukan pikiran!” ucap Leo yang mulai melunak, “Katanya penulis, lihat dong gue pinter, mesti kerjaan gue sehari-hari hanya dengan bahasa tubuh bukan bahasa tulisan!”
       “Heheh, mangap deh! Trus kita jawab apa?” tanyaku pura-pura bodoh.
       “Udah lah sil, jawab aja menurut hati nurani elo! Eh ngomong-ngomong siapa yang ngisi seminarnya?” tanya Arnold, nah dia malah kepikiran nanya nara sumber. Sementara gue yang katanya otaknya lebih pintar dari mereka bertiga nggak kepikiran kayak gitu.
       “Siapa ya, M Keanu apa ya lupa gue!” jawab Franda, dia memang selalu begitu otaknya suka lemot tiba-tiba memang dari sejak kecil.
       “Ye, udah deh jangan di tanya sama mis Lemot! Nanti kita liat aja siapa yang jadi narasumbernya!” ucap Leo sedikit tidak fokus dengan ucapannya.
       “Leo...!” ujarku sambil mencubit bahunya.
       “Kenapa sih!” ucap Leo sambil menggosok-gosok tempat yang bekas aku cubit tadi. Sesaat setalah kami asyik bercanda ternyata parkiran sudah didepan mata, Arnold mulai memberhentikan mobilnya.
       “Ayo anak-anak kita turun semua seminar tampaknya akan segera dimulai tuh!” ucap Arnold dengan bijaksana.
       “Baik Papah!” jawab Leo dengan candaan juga, kamipun turun semua tapi tiba-tiba aku malah kebelet buang air kecil, sehingga aku terpisah dari mereka bertiga. Sebelum aku sempat masuk ke toilet cewek tiba-tiba aku bertabrakan dengan seorang cowok yang ganteng banget menurutku, dia bahkan sangat tampan dan rapih menggunakan jas dan dasi.
       “Kamu harus mengganti semua kerugian saya!” ucap nya dengan tampang menyebalkan, nggak tahu apa aku sedang tidak ingin diajak berantem. Dan mulai saat itu juga aku cabut perkataan ku tentang dia ganteng.
       “Maaf ya mas, Maaf banget! Masalah ganti mengganti itu urusan belakangan aja ya! Ini kartu nama saya, kalau mau minta ganti rugi hubungi aja nomor ini, disini juga ada alamat rumah saya! Sekarang saya lagi darurat nih!” ucapku pergi meninggalkan orang itu begitu saja,  tapi aku sudah memberikan kartu namaku untuk dia hubungi kelak. Setelah urusan ku dengan WC kelar, aku kembali ke teman-teman yang mungkin sudah mencarikanku kursi untuk duduk.
       “Kemana aja lo sih!” ujar Arnold seperti ingin memarahiku.
       “Iya-iya maap, acaranya juga belum selesai!” ujarku sambil merangkul Arnold yang sudah kuanggap sebagai kakak ku sendiri, “Lho orang itu!”
       “Kenapa?” tanya Leo sambil merangkul Franda.
       “Orang yang super nyebelin! Tadi kami tabrakan trus gue sama dia jatuh, bajunya Cuma lecek sedikit, eh gue disuruh ganti rugi!” ucap ku sambil mengeluarkan tablet kesayanganku.
       “Emang dari tampangnya aja udah nyebelin!” ujar Leo, entah kenapa dia malah menilai orang yang akan menjadi narasumber yang tidak menyenangkan itu.
       “Ganteng tau!” ucap Franda sambil menutup mulutnya.
       “What Ganteng! Muka lecek kayak gitu sok banget!” ucap ku sambil mencari tahu tentang orang itu. Acara terus berlangsung sementara aku tidak sama sekali mendengarkan apa yang dia katakan pada semua peserta seminar, tiba-tiba tangannya menunjuk kearahku.
       “Kamu yang rambut kucir pake kacamata, megang tablet!” ucap nya dengan santai, “lima kursi dari tempat duduk saya ya” ujarnya lagi, aku menghitung ternyata benar itu aku, dan hanya aku satu-satunya orang yang sedang duduk sambil memegang tablet.
       “Saya kenapa?” tanyaku polos, ketiga temanku menatap kearahku dengan tingkah aneh, tapi seperti biasa aku selalu cuek. Tampaknya dia akan balas dendam dengan cara ini.
       “Bisnis apa yang akan kamu jalankan sekarang? Setelah mendengar seminar bisnis ini!” ucapnya, apa aku tidak mendengar sama sekali perkataannya.
       “Saya sudah memiliki bisnis saat ini!” ucapku tiba-tiba, what apa yang aku katakan kenapa aku berkata seperti itu hal mustahil alasan apa yang harus aku berikan lagi.
       “Oh ya, anak semuda kamu? Masa sih rasanya saya nggak percaya tuh!” ujarnya meremehkan aku, padahal tadi sudah aku berikan kartu namaku sebagai seorang penulis dan pemilik toko buku.
       “Memangnya kalau semuda saya kenapa, saya fikir anda juga pasti seumuran dengan saya! Dan Bisnis bukan hanya perkerjaan untuk orang sepintar anda atau seorang yang umurnya sudah tua sekitar tigapuluh atau empat puluh kan?” tanyaku sambil menatap lekat matanya, tiba-tiba dia berhenti tersenyum meremehkan.
       “Anda fikir saya mengejek anda?” tanya seketika tahu maksud dan tujuan aku,  “saya hanya penasaran bisnis apa yang anda lakukan?”
       “Bisnis menjual buku sebanyak mungkin!” ujarku tiba-tiba terkadang niat ku mendirikan toko buku dan perpustakaan berjasa banyak dan kali ini benar-benar menyelamatkan aku.
       “kenapa mesti buku?” ucap nya ketika itu.
       “Karena buku adalah jendela dunia, dia juga berperan sebagai guru tertua disini! Dan mungkin tanpa buku anda juga tidak akan menjadi pakar bisnis!” ucapku lagi dengan santai, akhirnya dia mengalah denganku dia mengakhiri perdebatan yang jika di lanjutkan tidak akan ada habisnya juga.
       Setelah ikut seminar menyebalkan itu, aku dan ketiga sahabatku itu pergi jalan-jalan disebuah pusat hiburan kota. Aku benar-benar tidak bersemangat dengan aktifitas kami karena kejadian tadi, sungguh tidak masuk akal aku harus mengganti untuk suatu hal yang tidak seberapa aku buat. Sementara itu kami berhenti disebuah restouran dan kami ingin makan disana.
       “Aku ketoilet dulu ya!” ucapku sambil pergi berlalu dari mereka, tampaknya mereka sedang bercanda asyik. Lagi-lagi aku bertabrakan dengan seseorang, doa saat itu ku Cuma satu jangan sampai orang yang sama lagi menabrakku, bisa berabe kalau begini caranya. Tapi benar orang yang tadi nara sumber nyebelin si pakar bisnis kebanggaan anak ekonomi.
       “Kamu lagi!” ujarnya dengan nada yang sama, jutek dan menyebalkan.
       “Kenapa masih mau minta ganti rugi berapa?” tanyaku sambil mengeluarkan dompetku.
       “Nggak perlu, hanya mau minta baju saya kamu cucikan!” ucap nya dengan nada yang sangat tidak menyenangkan pakal saja di restauran kalau bukan sudah habis tu cowok aku tonjok.
       “Elokan pakar bisnis, kenapa nggak elo masukin laundri, nggak ada uang! Ntar gue bayar deh!” ucap ku dengan nada yang mengejek.
       “Kamu ya, pokoknya saya maunya kamu! Sebelum saya pulang keamerika” ucapnya dengan nada sok, bangga sekali tinggal di Amerika, dia Cuma numpang aja disana.
       “Eh, elo siapa emangnya! Bangga banget sama Amerika disana aja numpang bangga!” ucapku pergi dari hadapannya.
       “Eh tunggu!” ucapnya, lalu dengan terpaksa aku membalikkan badanku “Gelang kamu...” ucapnya terputus, lalu pergi begitu saja, cowok aneh. Akhirnya aku melanjutkan berjalan menuju WC, aneh tempat berantem aku sama cowok yang kayanya bernama Keanu itu nggak asyik banget, pasti di toilet lagi-lagi toilet.
       Hari itu aku tidak sedang ingin bertemu sama tiga anak resek itu, aku pergi jalan-jalan dengan motor gede yang jarang ku pakai semenjak Arnold rela antar jemput kami bertiga, aku, Franda, dan Leo. Semenjak dia sudah mulai menyusun skripsi dari  pada jadwal kuliah yang padat. Aku berjalan menuju kebun pohon mangga yang menjadi saksi bisu permulaan persahabatan kami, yang nggak bakalan akan bisa terulang dimana masih ada Mike disana. Tapi kenangan itu rusak ketika aku melihat cowok resek Keanu itu, aku mendekat kearahnya sepertinya dia sedang mencari-cari sesuatu.
       “Ngapain elo disini?” tanyaku jutek, untuk orang seperti dia memang nggak pantes di baikin, bakalan melunjak ntar.
       “Suka-suka saya dong! Kamu sendiri ngapain disini?” tanya nya malah balik bertanya.
       “Ye, elo itu guekan tinggal didaerah sini! Atau jangan-jangan elo mau nyolong mangga ya?” tanyaku seuzon kepadanya, “Heh, nggak nyangka gue pakar bisnis kaya elo nggak sanggup beli mangga!”
       “Eh jaga bicara kamu! Saya bukan mau maling tau, saya Cuma mau bertemu sama pak RT yang punya kebun ini!” ucapnya, nggak salah denger aku dia tinggal di jaman apa, Pak Mamatkan udah 5 tahun lalu pensiun dari RT. 
       “Elo tinggal di tahun berapa Pak? Pak Mamat pemilik kebun ini udah lama pensiun!” ucapku sambil melepas handset yang sebelah dari kupingku, lalu dia dengan santai pergi menjauh dari ku. Aku malah mendekat kearah pohon yang dulu mempertemukan kami berlima, dia hanya menatap aneh kearahku.
       “Eh cewek resek! Kamu kenal dengan Sila nggak! Dulu dia tinggal disini!” ucapnya aneh tiba-tiba mendekat kearahku dan ikut duduk di bawah pohon mangga itu.
       “Sila? Nama panjangnya siapa, soalnya Sila disini juga banyak!” ucapku sopan, karena dia bicara juga sopan. Aku terbiasa membalas perbuatan orang lain, jadi kalau ada yang kasar sama aku aku juga bisa ikutan kasar, tapi jika ada yang baik padaku aku juga ikutan baik.
       “Saya lupa, udah enam tahun lalu saya pergi dari Indonesia!” ucapnya miris banget, “Tempat ini punya kenangan tersendiri bagi Saya sama empat sahabat Saya!” kata-katanya sungguh mengingatkan ku pada Mike, malah semula aku mengiranya dia  Mike setelah kejadian itu.
       “Ada foto mereka?” tanyaku dengan nada yang sedikit curiga.
       “Nih fotonya Cuma ada Foto saya sama Sila sih! Karena dulu rumah saya yang di Amrik sempat kebakar, jadi tinggal tersisa ini tentang kenangan mereka,” ucapnya sambil memberikan foto seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yang mirip aku waktu aku kecil. “Dan gelang ini yang tertinggal, sampai akhirnya nggak bisa kebuka lagi dari pergelangan tangan saya!”
       “Nih!” ucapku dengan santai, aku ingin dia mengenal aku sebagai temannya yang paling setia menunggu dia. “Optimis mau ketemu sama keempat teman elo?”
       “Optimis, tapi nggak juga ah, mungkin mereka udah melupakan saya!” ucapnya seperti berputus asa.
       “Dalam bisnis tidak ada kata putus asa! Kalau udah ada kata itu pasti nggak bakalan maju, begitukan yang pernah elo bilang!” ucapku sambil berdiri lalu membelakangi dia, “Begitu juga dengan sebuah persahabatan, gue memang bukan pakar bisnis seperti elo, gue juga bukan orang yang hapal dengan ribuan filosofi! Tapi gue adalah orang yang tahu bagaimana menghargai sebuah persahabatan!”
       “Andai aja pertemuan kita nggak seburuk kemarin ya!” ucapnya dengan nada yang lembut, tumben dia nggak jutek.
       “Lho kenapa?” tanyaku sambil membalikkan badanku menatap kearahnya.
       “Mungkin kamu bisa menjadi teman saya di Indonesia!” ucapnya kali ini sepertinya tulus, seperti kata orang biasanya penulis lebih peka terhadap perasaan lawan bicaranya.
       “Jangan menyesalkan kejadian yang sudah lewat, itu  akan membawa kita menjadi orang yang lemah!” ucapku sambil kembali duduk disampingnya, “Mungkin juga gue nggak sepintar elo, jadi maafin gue kalau gue berani menasehati elo!”
       “Kita pintar tidak dalam semua bidang! saya seneng kali ada yang bisa saya ajak curhat!” ucapnya miris banget,  “Oh iya nama kamu siapa?”
       “Hemp, kemaren gue kasih kartu nama gue ada namanya disana! Gue baru ingat kalau gue ada urusan sebentar!” ucapku langsung pergi meninggalkannya tanpa pamit, tampak dia masih apik berdiri dibawah pohon itu mungkin dia masih menghayati berada di bawah pohon mangga yang menjadi kenangannya itu. Mike waktu memang membuat kita lupa, lupa wajah sehabat sendiri. aku berharap kamu mengenal aku seperti wajah yang di foto itu, Sila sahabat kecil kamu yang sampai saat ini masih setia denganmu.
       “Woi, ngelamun aja! Mikirin siapa? Ruben? Jordi? Justin? Atau jangan-jangan mikirin gue lagi?” tanya Arnold dengan tampang cuek sambil menenteng Laptop putihnya.
       “Mikirin elo amit-amit!” ucapku sambil mengetuk-ngetuk meja, aku dan Arnold janjian berdua di cafe Piter karena kebetulan Leo ada pemotretan, si Lemot Franda lagi pengen kesalon, terpaksa hanya si mulut singa pemakan segalanya kecuali makanan Haram yang menemaniku di siang bolong penuh pemikiran ini.
       “Mikirin apaan sih? Bagi-bagi dong!” ucap Arnold sambil nyerobot minuman kesukaan ku, secara kebetulan aku, Arnold dan sebenarnya nih juga Mike memiliki selera makanan dan minuman yang sama.
       “Mike, dia kembali! Mencari kita” ucapku sepatah dua patah dan memberikan kode ajaib yang hanya orang-orang yang ber IQ tinggi yang bisa mencernanya, “Sahabat itu selamanya, meski ditinggal seberapa lamapun takkan menjadi musuh!” celetukku lagi, Arnold mengangguk-angguk tanda mengerti arah pembicaraan ku.
       “Okelah, gue masih bisa menerima kedatangannya tapi Leo maupun Franda?” ucapnya aku hanya mengangkat bahu seolah-olah tak tahu jalan keluarnya, “Yang mana dia?” tanya Arnold lagi.
       “Pakar bisnis muda kemaren, rumahnya kebakaran di Amerika sehingga dia kehilangan kontak kita!” ujarku sambil menghidupkan Tablet yang menemani hari-hariku.
       “Keanu maksud elo?” tanya Arnold, sambil melepaskan pandangannya dari HP canggih milik dia itu. Aku mengangguk enteng dia mulai mengangguk-angguk sambil memanyunkan bibirnya, mungkin dia sedang berpikir tentang sesuatu yang bisa memberi petunjuk yang benar.
       “Apa sih elo kok kayak gitu?” tanya ku sambil menolak dan membuat dia terbangun dari pikiran hebatnya.
       “Ya gue baru ingat, Mike Keanu Sutara!” ujarnya memberikan petunjuk yang detail, “M. Keanu Sutara Pakar bisnis itu, dan nama Mike juga Keanu Sutara ! yang harus kita selidiki adalah gelang dan beberapa ingatannya!”
       “Semalam gue liat dia di Pohon mangga rumah Pak Mamat!” ujarku namun Arnold tidak mengindahkan kata-kataku, aku intip pelan-pelan ternyata dia sedang asik browsing profil Keanu Sutara Pakar bisnis muda.
       “Gue dapet potonya, Ini gelangnya sama dengan yang kita punya! Harapan saat ini dia adalah membagi kesuksesan bersama empat sahabat yang belum dia temukan lagi!” ucap Arnold sambil menggigit makanan yang kupesan tadi, ternyata fikiranku benar Arnold juga masih mengharapkan Mike kembali.
       “Hai!” suara yang baru aku dan Arnold kenal tiba-tiba menyapa dengan ramah kearahku dan  Arnold, ternyata Keanu atau bisa jadi Mike, “saya ganggu?”
       “Nggak kok santai aja sob!” ucap Arnold dengan nada ramah pula, seperti biasanya dia paling anti dengan kesombongan dan keangkuhan, hidup ini lurus tanpa angkuh dan sombong itu kata-kata ampuh milik Arnold yang sama sekali bukan penulis, tapi dia adalah penikmat makanan yang bisa menyatap enam hidangan sekaligus.
       “Kamu...?” tanya Mike dengan ragu-ragu, mungkin dia merasa kenal dengan Arnold, yah memang dulu Mike dekat dengan Arnold, bahkan hampir setahun Mike pernah tingal dirumah Arnold.
       “Hidup ini lurus tanpa angkuh dan sombong! Jadi wajar kalau gue ramah!” ucap Arnold sambil mencandai temannya yang tidak mengenal dia sama sekali, “Gue Arnold sanjay, keturunan Prancis dan India, muka gue lebih ke Papua item-item gimana gitu!” lanjut Arnold seperti merendah.
       “Oooo... Arnold Sanjay!” ucap Mike mengulangnya ternyata dia tidak cukup pintar dengan kode.
       “Ya, Bapak Mike Keanu Sutara!” celetuk Arnold sambil menatap layar Laptopnya, dia tidak memberi kode apapun dengan aku.
       “Kamu kok bisa tahu nama panjang saya?” tanyanya, aku geleng-geleng kepala sambil tertawa geli melihat tingkah mike yang lucu.
       “Mike-mike, kita akan selamanya sampai maut memisahkan! Ternyata waktu juga ikut andil untuk memisahkan kita!” ucapku seperti berpuisi.
       “Pinter tetep aja cupu! Pergaulan amerika tetep aja Cupu, Dong-dong! Nggak pantes jadi buah Mangga jadi buah duku aja!” ucap Arnold lagi, memberi kode-kode perkataan yang sering dia lontarkan ketika kami masih kecil dulu, “Kebakaran membuat elo ilang ingatan ya mike?”
       “Arnold, si gembul yang mau nyolong mangga Pak RT nggak  bisa manjat itukan?” tanya Mike tiba-tiba membuat Arnold terdiam, sudah sejak lama dia tidak ingin satu orangpun mengungkit-ungkit masalalunya.
       “Stop-stop udah males gue kalau begini, Sil elo aja deh yang ngobrol sama dia?” ucap Arnold dengan tampang tidak suka, masa lalunya kelam katanya terlalu pahit untuk diingat bocah gembul yang kemana-mana selalu di ejek.
       “Maaf deh Nold! Tapi sekarang kok bisa kurus gini sih?” tanya Mike sambil memainkan hpnya, mereka berdua memang tidak pernah berubah prilaku mereka, hal itu yang membuat aku  nyaman berteman dengan mereka.
       “Iya dong! Kalau elo mau tanding manjat pohon pasti gue menang, selain doyan makan gue juga pemain parkour!” ucap Arnold sambil meminum jusnya yang telah diantarkan oleh pelayan tadi, aku, Arnold, dan Mike asyik ngobrol dan mengenang masa lalu yang sebenarnya Arnold nggak mau bahas, lantaran fisiknya yang malu-maluin itu.
       Hari itu aku bersyukur setidaknya Arnold yang masih mau memperbaiki semuanya, setidaknya sekarang Mike sudah kembali kepada kami. Bahkan sekarang Arnold menjadi salah-satu murid Mike karena Mike mau membantu Arnold untuk menyelesaikan Skripsinya yang sudah lama tertunda. Mike menjadi guru gratisan buat Arnold yang secara kebetulan kuliah dibidang  Bisnis, sekarang hanya tinggal membujuk Leo dan Franda agar mau memaafkan Mike.
       Mungkin bukan hal yang mudah bagi Leo dan Franda untuk memaafkan Mike, tapi cukup mudah bagi aku dan Arnold. Terutama Arnold yang sangat merindukan teman yang bisa diajak bicara, memang masih ada Leo yang bisa diajak curhat tapi Leo tidak seasik Mike. Leo lebih memikirkan pribadinya sendiri cendrung egois. Semenjak kedatangan Mike, Arnold lebih sering tinggal di apartemen Mike.
       Sampai akhirnya entah dapat informasi dari mana Leo mengetahui Mike kembali, memang Leo banyak teman dia banyak tahu tentang segala hal yang kami tidak tahu.  Siang itu Leo mengajak kami bertemu tanpa Mike dia tidak ingin ada Mike di pertemuan kami ini. Seperti biasa Aku dan si mulut singa yang rajin datang duluan lalu Franda dan terakhir si buat janji ingin bertemu yang malah terlambat, mukanya juga sudah tampak berbeda kali ini parasnya lebih kepada yang serius. Aku tidak tahu ada hal apa yang membuatnya begitu terlihat serius untuk hari ini.
       “Mike ada disini kan! Kenapa elo berdua nggak bilang ke gue maupun Franda?” tanyanya serius dan tampak dari dia tidak sama sekali memegang kameranya.
       “Gue sama Arnold nggak ingin Cuma gara-gara Mike kita berantem Leo!” ucapku menjawab pertanyaan dari Leo, setelah aku fikir kenapa Leo mesti marah kita sudah sama-sama dewasa kenapa hal ini harus diributkan.
       “Sila kitakan udah dewasa, segala halnya jangan diam-diam begini dong, bicara meski gue maupun Leo nggak bisa maafin Mike bukan berarti kalian diam dan nggak mau cerita begini!” ucap Franda, cewek yang cupu itu ternyata juga sudah cukup dewasa untuk mengerti hal ini. Aku dan Arnold memang salah, kami sembunyikan keberadaan Mike dengan kedua sahabat kami yang seharusnya mereka juga berhak tahu.
       “Gue tahu kalian takut gue maupun Mike berantem! Tapi Sila, Arnold elo pikir gue seanak-anak itu sampai tonjok-tonjokan!” ucap Leo yang tak menatap kami sama sekali, Arnold malah diam aja tidak ada niatnya untuk membela diri.
       “Gue minta maaf deh dengan kesalahan ini!” ucap ku dengan tapang yang sangat merasa bersalah.
       “Yang dulu bilang Mike bukan sahabat kita lagi siapa? Elo kan Leo, Franda kenapa sekarang malah sewot kami bersahabat dengan Mike tanpa membicarakan kepada kalian!” ucap Arnold setelah berhasil menyantap makanan yang di pesannya cafe piter hari ini tampak panas dengan suasana hati kami masing-masing, “come on Leo yang seperti anak kecil itu siapa? Kita ini udah dewasa meski kita sahabatan tapi elo juga nggak berhak untuk mengatur-ngatur dengan siapa kami harus bersahabat!”
       “Arnold, Franda tahu Franda salah! Tapi Franda juga ingin kembali bersahabat dengan Mike!” ucap Franda yang mengejutkan ku, dia tersenyum lebar kearahku mengisyaratkan dia benar-benar tulus saat itu.
       “Nah elo Leo, sama juga alasannya dengan si cupu! Bahkan si otak lemot aja bisa jujur!” ucap Arnold menunjuk kearah Franda yang diam-diam malu dibilang cupu dan otak lemot.
       “Gue! Oke lah kita terima Mike kambali” ucapnya akhirnya, pertemuan tegang yang ujung-ujungnya memaafkan Mike yang menghilang tanpa kabar seperti ini. Hari ini Mike memang tidak dapat ikut bergabung dia sudah punya janji sendiri untuk seminar di universitas di daerah Jogjakarta. Sungguh beruntung nasibnya lulus kuliah duluan dan sukses duluan. Meski kami berempat belum sesukses Mike setidaknya, Leo sudah menjadi fotografer di sebuah majalah besar, Arnold sudah membuka sebuah EO , Franda toko kuenya sudah sukses, dan aku sendiri membangun perpustakaan dan toko buku aku juga sudah menjadi penulis.
       “Udah lama nunggu disini?” tanya Mike kepadaku yang sejak tadi sibuk dengan pC tablet yang ku jinjing kemana-mana.
       “Udah! Udah sejam” ucapku tidak basa-basi kepadanya, kami berlima tidak pernah hanya sekedar basa-basi ngomong untuk menjaga perasaan masing-masing.
       “Yang lain kemana? Arnold tasnya ada orangnya kemana?” ucap Mike sambil mengeluarkan Laptopnya.
       “Dia lagi! tuh ketemu client nya katanya mau bikin Wedding pake EO-nya dia!” ucap ku menunjuk kearah  Arnold yang sibuk mempresentasikan sesuatu.
       “Bisnis elo gimana?” tanya Mike yang sekarang lebih asyik menggunakan elo-Gue.
       “Lancar, dan beberapa hari kedepan mau launching buku baru!”  ucap ku dengan nada datar dan tiba-tiba Franda datang dengan sebuah box yang dibawanya dengan repot, dan tiba-tiba Leo datang membantu untuk membawakan box-box itu.
       “Apaan ini pu?” tanya Leo sambil mendekat kearah kami, dengan tersipu malu-malu franda nggak menjawab kami berempat sudah berkumpul di meja seperti biasa, tinggal Arnold yang masih sibuk dengan clientnya yang tampak masih muda. Sesaat kemudian mereka terlihat saling berjabat tangan, itu menandakan pertemuan mereka telah berakhir, dari paras masing-masing orang bisa ku tebak kalau EO-nya di pakai untuk pernikahan mereka.
       “Hari ini gue yang terlaktir!” ucap Arnold dengan nada yang sangat bahagia.
       “Asyik, jebol nih!” ucapku memegang perut.
       “Hanya di cafe ini ya! Dalam sebulan gue dapat tiga weding kan lumayan!” ucap Arnold yang membuat kami tidak jadi bersemangat, “Apaan ini Franda?”
       “Oh iya hampir lupa, ini cupcake yang baru gue buat! Dan gue kepengen kalian yang ngerasaain!” ucap Franda sambil membuka boxnya.
       “CupCake, males ah!” ucap Arnold yang langsung menyenderkan badannya, “Mana mempan untuk Piranha di dalam perut gue!”
       “Arnold ini itu cupcake elo pikir nasi uduk!” ucap Leo sambil mengambil satu buah cupcake yang langsung dimakannya dengan bulat-bulat.
       “Arnold kok disuruh makan cupcake, cake aja belum tentu mempan di perutnya!” ucap Mike pelan dan berekpresi apa-apa, “Dia di suruh makan batu baru mempan untuk perutnya  yang penuh piranha itu!”
       “Kenapa sih? Udah ah terserah kalian aja, gue mau memanjakan piranha gue dulu!” ucap Arnold memanggil seorang pelayan, aku sempat mendengar pesanan yang super gede, dan super banyak itu. mendengar pesanan nya yang hampir satu meja aku tidak jadi untuk memesan makanan juga, kami berempat malah memesan minuman dan makan cupcake yang dibawakan oleh franda.
       “Eh Fran, setelah gue pikir-pikir dari pada gue susah-susah nyari toko kue untuk gue jadiin partner gimana kalau toko kue elo aja gue jadiin partner!” ucap Arnold sambil membuka laptopnya.
       “Hemp, emangnya bisa! Arnold biasanya anti sama gue!” ucap Franda sambil meneguk segelas jus jeruknya.
       “Bisa kali Frand! Gini deh, gue kan ngurusin orang-orang yang mau weding di weding itu pasti ada kue tart untuk pengantin, di tambah lagi disert-disert untuk makanan para tamu!” ucap Arnold sambil terus asyik dengan laptopnya, “So, dari pada kesempatan ini gue kasi ke orang lain mending sama elo kan?” tanya Arnold dan tampak Franda mengangguk-angguk tanda mengerti, “Dan satu lagi ya! Ini bukan masalah anti tapi masalah bisnis!”
       “Wha kita lagi jadi Tree manggo ya bukan urusan bisnis!” ucap Leo tampak mengotak-atik kameranya.
       “Gue rasa kita juga bisa kerja sama!” ucap Arnold sambil menjauhkan pandangannya dari Laptop kesayangannya itu.
       “Jangan bercanda elo!” ucap Leo sambil menyedot capucino ice nya.
       “Siapa yang bercanda, gimana kalau kita buat studio poto prawedding dan weding, gue selama ini udah menjalankan untuk membuat konsep pesta  nya tapi gue nggak berpikiran untuk memberikan plus photografernya nah itu lah kesalahan gue!” ucap Arnold sambil menarik nafas panjang ngumpul yang aneh menurutku kok jadi pada ngomongin bisnis aku dan Mike hanya menatap sambil menelan ludah, “Setelah gue lihat elo ternyata peluang itu bisa gue ambil! Dan menguntungkan temen gue sendiri!”
       “Gila, nginep di apartemen Mike baru seminggu! Otak elo udah uang dan keuntungan terus ya!” ucapku sambil menyudahi browsing di PC tabletku, Mike hanya tersenyum kecut kearahku.
       “Hehehe, bapak penasehat gue telah memberi pencerahan terhadap gue! Dan elo Leo gimana dengan tawaran gue! Elo nggak perlu keluar dari majalah dengan urusan ini! Pekerjaan ini gampang kok, tunggu ada client baru elo bekerja! Dan elo juga bisa ajak beberapa teman elo disini, kalau client kita yang rada orang penting elo bisa langsung potret  meraka, tapi kalau elo anggep ini bisa di kerjain sama temen-temen elo! Yah elo nggak usah turun tangan!”  ucap Arnold yang tampak tidak lelah menjelaskan bisnisnya kedepannya, sementara Mike sudah tampak merubah posisi duduk nya dan mungkin akan bersiap berbicara sesuatu.
       “Bapak Arnold, kedua sahabat anda sudah diberi peluang kenapa saya nggak di beri peluang juga!” ucap Mike sambil mengaduk kopi panasnya, dengan senyuman dan nafas panjang dia mulai berancang-ancang untuk menjawab pertanyaan Mike.
       “Gampang kawan, asal elo mau telaktirin gue selama setahu-dua tahun, untuk memenuhi kebutuhan Piranha gue!” ucapnya sambil mengelus-elus perutnya yang tampak memang lapar, aku sendiri hanya bisa terdiam.
       “Nold, udah sukses begini dan mengurusi weding orang lain, kapan weding sendiri!” ucapku yang lantas membuatnya tidak jadi menyuapkan makanan kedalam mulutnya, Leo, Franda dan Mike tersenyum renyah kearah Arnold.
       “Gue belum kepikiran untuk menikah!” ucapnya singkat dan tidak banyak alasan yang lain.
       “Tapi diantara kita umur elo yang udah pantas menikah Nold, bahkan sejak masuk SMA gue belum pernah liat elo pacaran!” ucap Leo sambil terus mencoba memotret beberapa adegan, kali ini kami benar-benar tidak memberikan kesempatan untuk Arnold menyuapkan makanannya.
       “Gue,...” ucapnya terputus sambil mencoba ngomong sesuatu, “Gue masih ragu-ragu dengan namanya pasangan, rumah tangga, bahkan punya anak!” ucapnya lagi sambil menggosok-gosokkan matanya yang sipit itu.
       “Kerena Bonyok ya Nold!” tanya Franda dengan tampang yang tak berdosa, mungkin karena dia broken home yang membuat dia tidak sama sekali percaya pada pernikahan. Sementara Arnold tidak menjawab tapi dengan satu kali anggukan dia membuat semuanya mengerti.
       “Nold pengalaman seseorang itu beda-beda lho, kalau bokap-nyokap gagal bukan berarti elo gagal juga!”ucap Mike, dalam persahabatan kami memang Mikelah yang paling berpikir dewasa, dan suka membawa filosopi apa saja yang nyambung dalam percakapannya. Arnold tampak sedikit cerah setelah Mike berbicara, mungkin disatu sisi dia juga mengerti akan perbedaan skenario hidup setiap manusia.
       “Gue  cabut dulu ya!” ucapku sambil mengemas semua barang-barangku yang terletak diatas meja.
       “Cepet banget mau kemana memangnya?” tanya Leo yang masih memperhatikan kameranya, Arnold, Franda dan Mike hanya mengangguk tanda menyetujui pertanyaan dari Leo.
       “Gue mau ngecek toko dulu! Lagian kalian ngomongin bisnis mulu, kan bisnis gue beda dari kalian semua!” ucapku sedikit ngambek, mereka tersenyum kecut kepadaku.
       “Penulis juga bisa ngambek ya?” tanya Arnold sambil menatap ku lekat-lekat.
       “Memangnya kenapa Penulis juga manusia tahu!” ucapku sambil memanyunkan mulutku.
       “Mau dianterin nggak?” tanya Leo.
       “Nggak usah gue bawa motor kok!” ucapku sambil menggoyangkan kunci motor ku.
       “Ini nih calon jauh dari jodoh! Kalau elo nggak tuker motor gede elo itu dengan mobil atau nggak taxi elo akan jauh dari jodoh sil!” ucap Franda yang berkata serius, dari kami berlima yang sudah memiliki pasangan hanyalah Franda.
       “Udah ah, jangan ngomongin jodoh dengan gue! Diantara kita berlima gue paling muda dua tahun dari kalian! Dan diantara kita berlima juga Arnold yang paling harus di nasehati tentang jodoh!” ucapku lagi.
       “Lho kok gue yang kena?” ucap Arnold lagi-lagi memberhentikan suapan makanannya kedalam mulut.
       “Iya dong secara elo paling tua nold, jadi elo harus nikah duluan dari pada kita!” ucapku sambil membalikkan badan dan berlalu dari mereka berempat.
       “Awas elo ya Sila, gue bakal buat peritungan dengan elo!” terdengar suara Arnold samar-samar tapi dengan artikulasi yang cukup jelas bagi ku. Tanpa memperdulikannya aku langsung melangkahkan kakiku menuju motorku, dan melaju ke toko buku untuk sekedar mengecek pemasukan. Semuanya sudah ada yang mengerjakannya aku biasanya hanya tinggal mengecek saja,
       Sampainya di toko buku, ternyata seseorang telah menungguku sejak sejam yang lalu. Dan kata Ranti kasir tokoku aku sudah dihubungi beberapa kali tapi tidak juga menjawab. Dan aku baru sadar kalau HP ku aku silent kan karena takut mengganggu pertemuan maha penting itu, akupun menemui tamuku yang sudah lama menungguku. Setelah aku mendekati dia, bertapa terkejut nya aku ketika aku tahu bahwa yang menemuiku adalah Mamanya Arnold.
       “Tante apa kabar?” tanyaku sekedar berbasa-basi kepada Mamanya Arnold.
       “Baik Sila, tante kesini mau...” ucapnya terputus aku tahu perkataannya selanjutnya jadi dengan tidak sopan aku langsung melanjutkan perkataannya.
       “Mau nanyain kondisi Arnoldkan tante?” tanyaku sambil menggaruk mataku.
       “Iya, gimana keadaannya sekarang?” tanya Mama Arnold sambil memegang pundakku.
       “Baik tante, malah bisnisnya sekarang sudah mulai lancar tante!” ucapku seadannya kepada mama Arnold.
       “Tante seneng dengarnya! Tante kangen Sila sama Arnold” ucap Mama Arnold yang membuat aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku tahu untuk mempertemukan Arnold dengan Mamanya itu tidak muda, Arnold sudah kecewa dengan Mama maupun Papanya.
       “Sila mau bantuin Tante cuma tante tahu sendiri kalau Arnold itu keras kepala!”  ucapku sambil merangkul Mama Arnold dengan akrab, Mama Arnold tampak kecewa dengan jawabanku. Tapi lantas dia tersenyum sembari berkata,
       “Sila, Jagain Arnold yah... tente yakin Arnold akan baik-baik aja kalau sama kamu!” ucap Mama Arnold yang membuat aku semakin bingung.
       “Saya sama Arnold itu sahabatan jadi saya akan berusaha semampu saya untuk jagain Arnold tante!” ucapku dengan nada menangkis arah pembicaraan dari Mama Arnold.
       “Tante kepengennya kamu sama Arnold itu lebih dari sahabat Sila!” ucap Mama Arnold akhirnya berkata jujur kepadaku, aku nggak pernah menyangka Mamanya akan ngomong kayak gitu ke aku.
       “Tante jangan ngomong kaya gitu ah!” ucapku, kami ngobrol cukup lama saat itu sampai akhirnya Mama Arnold pamit, sampai hari ini aku nggak pernah tahu Mamanya tinggal dimana.
       Setelah beberapa kali bertemu dengan Mamanya aku berencana untuk menceritakan semuanya kepada Arnold, dan hari ini aku akan menceritakan semuanya bertemu dia di cafe Piter tanpa ketiga sahabatku yang lainnya. Hanya ada aku dan Arnold, awalnya Arnold males mau ketemu aku berdua aja tapi setelah aku paksa dan dengan terpaksa pula dia menerima semua itu.
       “Sory lama ya nold!” ucapku sambil duduk didepannya.
       “Gue males janjian sama kalian kayak begini nih! Nggak on time!” ucapnya sewot semenjak aku bilang dia harus nikah duluan dari pada kami berempat tampaknya itu sudah cukup membuat beban bagi dia.
       “Nold, gue kemaren ketemu sama Nyokap!” ucapku memulai pembicaraanku, seketika dia tersentak dan terdiam sejenak sampai akhirnya.
       “Nyokap siapa?” tanyanya sok polos, tak ku tangkap di paras wajahnya mencurigai itu Mamanya.
       “Nyokap elu lah, nggak mungkin nyokap gue kan?” tanyaku tampa melihat wajahnya, aku tidak tahu persis bagai mana wajahnya seketika tahu aku pernah bebicara pada Ibunya.
       “Gue males ah dengernya!” ucap Arnold menutup laptopnya dan bersiap untuk pergi dari hadapanku.
       “Nold nyokap elo pengen ketemu sama elo! Bahkan dia malah mengamanahkan gue suruh jagain elo!” ucapku sekenanya, lantas dia berhenti mengemas barang-barangnya dan menatap ku dengan tatapan angker.
       “Memangnya gue anak kecil apa yang harus di jagain! Lagi pulakan kita sahabatan yang tiap hari ketemu!” ucap Arnold yang sejalan dengan pemikiranku.
       “Tapi nold, dengerin gue dulu! Awalnya gue bilang gitu kedia tapi nyokap elo malah bilang...” aku sebenarnya nggak sanggup mau ngomongin ini kepadanya, dia pasti syok dengarnya aku aja syok dengernya apa lagi dia.
       “Ngomong apa nyokap gue?” tanya Arnold sambil melipat tangannya.
       “Beliau Ngomong kalau gue ngejagain elo bukan hanya sekedar sebagai sahabat tapi lebih!” ucapku terbata-bata, Arnold yang sedang minum bisa sampai tersedak karenanya.
       “Nyokap gue bilang begitu?” tanya Arnold memastikan dia tak salah mendengar.
       “O-Oh, dan gue harap elo mau ya ketemu nyokap elo! Biar gue nggak terus-terusan merasa bersalah karena bilang iya mulu tapi kenyataannya kita nggak bisa...” ucapku sambil meminum-minuman yang telah sampai diatas meja, Arnold berpikir sejenak mungkin dia sedang menimbang-nimbang.
       “Demi elo iya deh gue mau temuin dia!” ucap Arnold sambil merentangkan kedua tangannya, dengan senyum yang tampak dipaksa keluar dari bibirnya. Lantas dia melihat lekat-lekat kearahku, bukan tatapan biasanya dia menatapku tapi ini ada perasaan yang berbeda yang terjadi. Aku membalas tatapannya, seketika kami terjebak saling menatap sampai akhirnya kami berdua tidak sadar. Aku yang menyadari duluan langsung membuang mukaku begitu saja.
       Untuk sekian kalinya Mama Arnold kembali datang ke toko buku ku, dia juga termaksud orang yang berlangganan buku-buku di toko bukuku termaksud semua seri novelku selalu dia baca. Semenjak kepergian Ibuku aku mulai akrab dengan Mama Arnold tapi sayang kearaban kami mulai luntur ketika orang tua Arnold cerai saat Arnold masuk di SMA dan dengan lantang Arnold menyatakan keluar dari rumah.
       Semenjak kejadian itu kami tidak lagi menemukan sosok Ibu Arnold, awalnya Arnold di asuh oleh ayahnya. Seketika ayahnya mulai sibuk dengan bisnis diluar negeri membuat Arnold kehilangan segalanya, ketika dia di belikan mobil mulai dari situ lah Arnold selalu menjadikan mobil sebagai rumah barunya. Aku yang banyak tahu tentang Arnold karena semenjak Mike pergi aku yang menjadi tempat curhat untuknya, dia merasa terbuka bersamaku. Banyak juga Novelku atas jasanya karena dia banyak cerita kepadaku jadi aku banyak ide untuk menulis sebuah Novel baru.
       Hari itu aku sudah janjian dengan Mama  Arnold untuk mempertemukan mereka, karena Arnold sudah janji dengan ku akan menemui Mamanya akhirnya dia menepati janjinya. Aku tahu Arnold termaksud laki-laki yang sangat on time dan tepat janji, walaupun dia bertemu dengan orang yang tidak dia suka sekalipun kalau sudah janji dia tidak akan membatalkannya, itulah sifat yang selalu aku senangi dari seorang Arnold yang diluarnya tampak tegar tetapi hatinya sangat rapuh.
       “Siapa pacar kamu sekarang? Apa jangan-jangan Sila?” tanya Mamanya, Arnold tampak bingung dengan jawaban yang akan diberikannya.
       “Bukan Ma, aku belum punya pacar! Lagian aku sama Sila kan sahabatan dari kecil ma!” ucap Arnold yang masih tampak kaku bertemu sama Mamanya lagi.
       “Udah kalian jadian aja nggak apa-apa kok!” ucap Mamanya tanpa basa-basi, “Mama Akan sangat bahagia kalau kalian bersama, apa lagi sebelum mama pergi!”
       “Hust, Ngomongin apaan sih tante!”
       Aku terus kepikiran dengan perkataan Mama Arnold, ada satu hal yang mengganjil yang tertera dalam setiap perkataan Mamanya. Setiap hari aku habiskan untuk memikirkan masalah ini, padahal banyak hal yang harus aku pikirkan termaksud persiapan untuk Launching Buku ku nanti. Tapi perkataan Mama Arnold terus terngiang sampai hari ini, aku bahkan menghindari pertemuan dengan sahabat-sahabatku hanya karena aku nggak ingin mereka tahu apa yang sedang aku pikirkan.
       Siang ini aku iseng-iseng buka E-mailku, ternyata ada satu nama tertera disana, nama yang sudah tidak asing lagi aku lihat. Alamat E-mail Arnold ada apa dengan Arnold kenapa dia tumben kirim e-mail kenapa nggak langsung aja di sms atau nelfon.
Subject:
Sil, entah dengan alasan apa lagi gue melupakan ngomongan nyokap tempo hari, rasanya terus kepikiran begini, apa lagi setelah kita ketemuan bedua tanpa Mike, Leo, Maupun Franda. Gue takut ini akan merusak semua persahabatan kita... gue nggak tahu harus cerita dengan siapa kecuali dengan elo.
Sil, gue berasa kata-kata nyokap gue itu kaya dia akan benar-benar pergi jauh dan nggak akan pernah tanya-tanya kabar gue lagi!!! Nggak akan pernah ngusik kehidupan gue lagi, gue takut sil! Jika seandainya jadian dengan elo adalah amanat terakhirnya apakah elo bersedia sil?
Gue bingung harus gimana sil? Gue kepikiran ini terus setelah gue ketemu sama nyokap gue waktu itu... bagaimana pun gue nggak bisa membuat dia sedih...
Sil gue bingung sumpah!!!

       Aku juga jadi benar-benar bingung, entah bagaimana perasaanku tiba-tiba berubah begitu saja. Tanpa permisi rasa sayang sebagai sahabat terhadap Arnold pergi begitu saja, sementara perasaan sayang lebih dari seorang sahabat sekarang sedang menginap. Aku tahu bagaimana pun kami juga dua anak manusia yang bisa saja jatuh cinta, hari ini aku hanya duduk di meja kasir toko bukuku sambil melihat orang lalu lalang mencari buku. Aku menyortir setiap pelanggan ku siapa tahu ada Mamanya Arnold, tapi aku tak sama sekali mendapatkan itu.
       “Mbak Sila ya?” tiba-tiba seseorang sudah berada di depanku, setelah aku perhatikan tidak ada niatnya untuk membayar buku karena dia tidak sama sekali memegang sebuah buku.
       “Iya kenapa?” tanyaku dengan ramah sambil membuang pikiranku tentang Mamanya Arnold.
       “Mbak kenal dengan Ibu Andera?” tanyanya dengan nada yang sangat sopan dan anggun, sungguh seorang perempuan yang sangat di idamkan semua laki-laki.
       “Iya, itu mamanya teman saya!” ucapku yang masih bingung dengan perkataannya kenapa dia bertanya seperti itu, setelah aku mengiyakan raut wajahnya berubah derastis ketika itu dari senyum manisnya yang terpancar kini berubah seperti sedang sedih dan tampak bersyukur karena telah bertemu dengan ku.
       “Oh syukur lah Mbak! Ternyata saya nggak salah toko buku” ucapnya sambil memegang kedua pundakku lalu dilepaskannya lagi, “Ibu Adera semalam masuk rumah sakit, dan pagi tadi beliau meninggal Mbak!”
       “Innallilahiwainailahirojiun!” ucapku sambil menutup mulutku, “Sudah dimakamkan mbak?”
       “Belum, makanya saya kesini, soalnya saya liat di meja favoritnya Ibu  Adera ada buku yang cap toko ini sama penulisnya jadi saya pikir anda orang yang dekat dengan beliau!” ucapnya anggun, “Oh iya nama saya Anggun Mbak!”
       “Oh ya udah kita kerumah Tante Adera sekarang!” ucapku sambil mencoba mengecek-ngecek nomor hp Arnold, tapi sepertinya sangat sulit untuk aku temui saking paniknya.
       “Mbak jangan panik begitu, nanti apa yang dicari malah tidak ketemu lho!” ucapnya sambil merangkulku yang sudah mulai mengeluarkan air mata, ALLAH masih menyayangiku secara tidak sengaja Arnold kami temukan didepan pintu dengan refleks aku memeluk Arnold yang tampak bingung dengan aksiku.
       “Kenapa sil?” tanyanya sambil membalas pelukanku, air mataku tampak membasahi jasnya.
       “Nyokap Nold, Nyokap elo!” ucap ku sambil melepaskan pelukanku dan menatap matanya lekat-lekat.
       “Kenapa Nyokap gue elo kenapa nangis gini?” tanyanya mengehujatku dengan perkataan yang sulit untuk aku ungkapkan.
       “Nyokap elo udah pergi jauh nyusul nyokap gue!” ucapku yang tidak sampai hati mengatakan ‘meninggal’ kepada Arnold, dia tampak berubah dia diam tampa berkata apa-apa. Perempuan yang mengatakan bernama Anggun itu mengantarkan kami ke rumah nyokap Arnold. Disana terlihat bendera kuning sudah berkibar, aku melihat air mata Arnold jatuh perlahan-lahan, kali pertama aku melihat Arnold menangis. Bahkan ketika bonyoknya cerai dia malah tidak tampak sedih dan memikirkan sesuatu, Cuma terlihat marah dengan keputusan orang tuanya.
       “Nold gue ngerti dengan perasaan elo! Gue tahu ini perih, tapi nold Nyokap nggak akan rela ngeliat elo cengeng kaya gini!” ucapku sambil menghapuskan air mata Arnold yang terjatuh, aku dan Arnold turun dengan perasaan yang campur aduk. Aku tidak menyangka kalau Mamanya akan pergi secepat ini, setelah masuk kedalam rumah ternyata jasad mamanya sudah di kafankan tinggal membawanya kepemakaman. Disana terlihat Papa tiri Arnold sedang memandangi jasad mamanya.
       “Arnold!” sapa Papa tirinya yang langsung merangkul Arnold, kali ini tampak Arnold tidak berontak atau menolaknya, “Maafin Papa ya, Papa gagal menyelamatkan Mama kamu!” Arnold tidak menyahut apapun, sementara aku masih berada di samping Arnold.
       “Om yang tabah ya! Saya ikut berduka cita!” ucapku sambil menepuk-nepuk pundak Papa tiri Arnold.
       Saat ini kami sedang berada disamping Jasad mamanya, aku mengingat kejadian sepuluh tahun lalu, ketika Mamaku meninggal dan pergi untuk selamanya dari hidupku. Disana ada Arnold, Leo dan Franda. Yang menghibur hari-hari duka ku adalah Arnold dia menemaniku setiap hari hanya untuk mengembalikan senyumku, apa mungkin sekarang giliran aku yang harus menabahkan hati dan mengembalikan senyumnya.
       Setelah di sholatkan, kami langsung mengantarkan jasad mama Arnold menuju pemakaman. Yang paling tidak terduga Jasad mamanya dimakamkan disebelah makam Mamaku,  aku sibuk menatap Makam Mamaku kini aku harus memakamkan orang yang telah ku anggap Ibuku sendiri. Arnold masih menatap nisan Mamanya yang sudah dikuburkan, bahkan semua orang ssudah pulang kecuali Arnold dan aku yang masih setia disana.
       “Nold liat deh makam itu!” ucapku Arnold langsung menengok makam disebelahnya dan menatapku seperti penuh arti, “Makam Nyokap gue, mereka bersebelahan yah!”
       “Mereka nggak sedirian kok!” ucap ku sambil merangkul Arnold yang masih menatap nanar kearahku, “Nold kata Pak Asep guru agama kita waktu SMA, Nggak boleh nangis didepan makam! Lagian kita nggak boleh gitu nold sedih sih boleh tapi ...” ucap ku terputus karena telah ditatap tajam kearahku entah mengeapa seketika detak jantungku terasa berpacu dengan paru-paru.
       “Sil, amanat Nyokap gue!” ucapnya yang membuat aku juga ikut kepikiran.
       “Udah lah nggak baik kita ngomongin itu di makam, apa lagi ini didepan Makam Nyokap kitakan?” tanyaku yang langsung dianggukan olehnya.
       “Yuk!” ucapnya.
       “Eits hapus dulu tuh air matanya, ntar kalau kita keluar dari area pemakaman ini, gue di bilang ngapa-ngapain elo lagi!” ucapku yang mencoba bercanda dan hanya mencoba untuk menunjukan rasa perduliku.
       “Yah dimana-mana terbalik lagi sil! Oh iya kita kerumah bokap tiri gue dulu ya?” ajaknya yang langsung ku anggukan begitu saja, kami pulang menuju rumah Papa Tirinya Arnold, yang memang tak jauh dari pemakaman itu. setelah sampai diperumahan tepat Papa tirinya Arnold tinggal, kami masih melihat bendera kuning masih terlihat tampak berkibar-kibar dari depan gang, aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa-apa lagi kepada Arnold.
       Sepanjang perjalanan hanya kesunyian yang tersimpan disana, aku saja tidak bisa merangkai kata-kata untuk ku keluarkan kepadanya. Terasa kata-kata yang biasanya ku stok banyak untuk mengobrol kini sudah tidak ada lagi kelu dan tidak ingin keluar, sekarang dia malah sesekali menatapku aku makin tidak  kosentrasi memikirkan kata-kata apa yang tepat untuk ku sampaikan kepadanya.
       “Gini ya ternyata rasanya! Pantes dulu elo susah banget senyum mesti gue bela-belain berubah jadi orang papua!” ucapnya sambil terus menyetir mobil.
       “Maksud elo waktu gue berkabung waktu nyokap gue meninggal?” lantas dia menganggukan kepala nya dengan kencang sebelum menjawab aku hanya tersenyum kecil kearahnya, “Nold itu dulu sekarang gue pengen elo nggak usah berlarut-larut untuk sedih! Kita ini udah dewasa lho Nold gue tahu setiap manusia pasti akan kembali!”
       “Iya gue tahu itu, gue pernah baca novel pertama elo yang judulnya, ‘Hari terakhir bersama mamaku’ gue teringat itu makanya gue sekarang sadar bahwa elo berkata kalau kita nggak boleh bersedih! Karena gue tahu elo juga pernah ngerasain ini bahkan sebelum kita dewasa!” ucap Arnold langsung mengacak-acak rambut ku yang memang terlihat berantakan, setelah dipemakaman itu. beberapa saat kemudian mobil Arnold sudah terparkir apik dihalaman rumah Papanya, kami berdua masuk berbarengan dan terlihat Papanya sedang duduk sendirian di sofa ruangan tengah yang tampak dari ruang tamu yang masih di bentangi beberapa tikar.
       “Pa!” ucap Arnold langsung duduk disebelah Papa tirinya, sungguh laki-laki yang berani menerima kenyataan. Dengan gagah dia memanggil orang yang dulu tidak pernah dia akui dengan sebutan Papa, diam-diam aku mengagumi sikap dewasanya itu.
       “Nold, Papa minta maaf karena papa...” ucap Papa tirinya tidak selesai bicara, karena sudah disanggah terlebih dahulu oleh Arnold.
       “Udah lah Pa, kematian Mama bukan salah siapa-siapa! Ini sudah takdir yang nggak bisa kita elakan lagi!” ucap Arnold dengan bijak, aku mengeluarkan senyuman kecil kepada kedua orang yang sedang berkabung ini.
       “Oh iya, Mamamu pernah cerita ke Papa kalau dia berharap sekali kamu bisa bersama dengan Sila teman kecil kamu katanya!” ucap Papanya yang membuat aku sedikit terkejut, seberharap itukah Mamanya Arnold sampai dia menyampaikan harapannya kepada suaminya.
       “Yang bener om?” tanyaku hanya sekedar memperjelas perkataan Papa tirinya Arnold itu.
       “Buat apa om bohong! Kata Mama, Sila adalah perempuan terbaik yang pernah dia temui dan dia berharap Arnold bisa bersanding dengan Sila!” ucap Papanya sambil melepaskan rangkulannya dengan Arnold, “Papa jadi kepengen lihat yang namanya Sila!”
       “Papa udah ketemu kok orangnya!” ucap Arnold sambil mengambil minuman untuk kami bertiga, Papanya tampak menatap Arnold dengan penasaran.
       “Yang mana satu, tadi datang di pemakaman?” tanya Papanya.
       “Dateng kok, tuh orangnya didepan Papa!” ucap Arnold yang kembali datang ketempat kami, aku tersenyum kecil kearah Papanya yang menatapku heran.
       “Cantik!” ucap Papanya yang mulai sadar akan keberadaan ku.
       “Makasih Om!” ucapku dengan nada yang ramah, sambil mengambil minuman yang diberikan Arnold. Memang sejak tadi di pemakaman, tenggorokan sudah kering dan hampir mati karena dehidrasi.
       “Iya, Om juga suka baca novel kamu!” ucapnya sedikit tersenyum. 
       Setelah dari rumah Papanya Arnold, Arnold mengantarkan aku kembali pulang. Sebelum kami pulang aku mengajak Arnold untuk makan malam terlebih dahulu, perutku sudah keroncongan karena hampir satu hari aku tidak menyentuh nasi. Dan aku yakin Arnold juga pasti kelaparan, karena belum pernah ada sejarahnya dia telat makan.
       “Nold Piranha elo nggak minta makan tuh?” tanyaku hanya sekedar berbasa basi.
       “Kenapa emangnya?”  tanya Arnold sambil menatapku dengan nada yang datar.
       “Anakonda gue minta makan nih! Mungkin bentar lagi menggerogoti dinding perut gue!” ucapku menatapnya penuh harap, mungkin hanya berharap bisa memberinya kode untuk mengajak makan malam.
       “Gue juga, Piranha gue bahkan mungkin udah menggerogoti dinding perut gue! Dari semalem gue belum makan nasi, soalnya gue sibuk memikirkan perkataan almarhum Mama!” ucap Arnold sambil memutarkan mobilnya menuju sebuah rumah makan, aku tersenyum lebar seakan harapan hidup itu masih ada.
       “Dari semalem Nold, tumben! Biasanya elo nggak pernah telat makan!” ucapku sambil menatapnya, tampaknya dia salah tingkah dengan tatapanku itu.
       Kami berdua masuk di sebuah restoran, nggak ada percakapan apapun yang melibatkan aku dan Arnold. Kali ini aku pesan lebih banyak dari biasanya dan malah Arnold pesan lebih sedikit dari biasanya, aku menatap heran kearahnya aku masih bisa menangkap ada perasaan sedih yang sangat mendalam masih tersimpan walaupun bibir nya tampak bisa tersenyum tapi matanya tak bisa berbohong.
       “Nold, bagai manapun elo harus makan banyak Nold! Jangan sampai elo sakit, masih ada beberapa weding yang masih menunggu elo!” ucap ku sambil terus melahap makananku.
       “Gue masih kepikiran dengan perkataan Mama Sil, gue nggak tahu harus berbuat apa! Lagian entah kenapa hati gue berubah sil, dari menyayangi elo sebagai seorang sahabat sekarang malah...” ucap Arnold terputus yang langsung makan sebisanya, aku tahu perut Arnold juga terasa lapar sama sepertiku.
       “Nold yang itu biarin aja lah! Biar berjalan apa adanya yah kaya air mengalir!” ucapku sambil menyedot minumanku.
       “Makasih ya sil!” ucap Arnold tampak cerah kali ini, yah selain terpukul karena kepergian ibunya dia juga pasti terbebani dengan amanat mamanya.
       “Iya, itulah gunanya...” ucapku yang langsung tidak aku lanjutkan, seketika restoran tempat kami makan serasa garing dan panas, tidak ada satu percakapanpun yang bisa kami keluarkan kecuali saling pandang dan tersenyum persis ABG saat suka-sukaan.
       Sudah beberapa bulan berlalu setelah kejadian yang menyayat hati itu, aku sekarang lebih sering kemakam Mamaku dan Mama Arnold dengan membawa dua buah bunga yang, satu matahari dan satu lagi mawar. Mamaku lebih suka dengan Matahari sementara Mama Arnold lebih senang dengan mawar putih. Aku sering kesana hanya untuk membuang perasaan yang tidak menentu ini.
       “Ma, aku benar-benar bingung dengan perasaanku sekarang! Aku takut ma, aku takut beneran jatuh cinta sama anaknya Tante Andera, kalau itu benar ma kira-kira Leo, Mike sama Franda bakalan Marah nggak ya ma?” tanyaku sedikit kebingungan karena aku hanya cerita pada sebuah nisan yang bisu, “Ma, Papa udah lima tahun nggak pulang tapi waktu aku Sekolah sebelum jadi penulis Papa rutin kok kirimin aku uang sekolah sama jajan! Aku nggak tahu ma Papa sekarang dimana!” seketika hpku berdering tanda menandakan ada seseorang menelfonku, ku rogohkan kantongku dan kulihat siapa yang menelfon ternyat Leo calling....
       “Sil dimana?” tanya Leo dengan nada yang cerah dan tidak seperti biasanya.
       “Dimakam Mama yo kenapa?”  tanyaku sambil menjauh dari pemakaman.
       “Bisa ketemu nggak? Aku mau ngobrol sesuatu sama kamu?” ucap nya yang rada aneh kenapa dia pake bahasa ‘aku dan kamu’ ada apa ini sebenarnya.
       “Tempat biasa?” tanyaku yang sudah berada di dekat motorku.
       “Nggak kita ketemuan di Resto Harmoni ya?” tanya nya dengan nada yang super ramah dan romantis.
       “Hemp, oke deh mungkin setengah jam lagi gue sampe  kalau nggak macet! Hehe!” ucapku menutup telfon dengan cepat, ada apa ini kenapa Leo berkata seperti itu kenapa yang biasanya menggunakan elo gue, kenapa sekarang jadi aku kamu. Ada apa ini sebenarnya? Dengan sigap aku melajukan motorku menuju Resto Harmoni yang tak jauh dari tempat aku berada sebenarnya. 
       Sekitar setengah jam kemudian aku benar-benar sampai di resto yang sudah dijanjikan, aku masuk dengan tergesa-gesa dan aku melihat Leo sedang menunggu sambil mengetuk-ngetuk meja. Aku sendiri kurang yakin untuk bertemu Leo setelah dia sudah beraku-kamu yang membuat aku sedikit tidak yakin untuk bertemunya, aku mulai berpikiran yang buruk bahkan seburuk-buruknya.
       “Leo elo kenapa?” tanya ku sambil duduk tepat didepannya.
       “Aku nggak apa-apa kok!” ucap Leo yang langsung memegang tanganku, bahkan sejumlah makanan udah tersajikan di atas meja, sedang ada permainan apa ini.
       “Kalau elo nggak kenapa-napa kenapa elo pake aku-kamu, elo tahu nggak yo itu menjijikan tau nggak!” ucap aku langsung to the point, dia langsung memegang tanganku tambah erat.
       “Sila, aku ngajak kamu kesini untuk bicarakan sesuatu?” ucapnya yang langsung serius, tak ku tangkap ada kamera melingkar di lehernya atau di atas meja.
       “Apa?” tanyaku dengan nada yang sedikit tidak yakit dengan kata ‘apa’ itu.
       “Gue suka, Jatuh cinta, atau apapun itulah namanya dengan kamu sil?” ucapnya yang membuat aku sedikit syok dan melepaskan tangaku dari pegangannya.
       “Leo ini gila beneran, gue nggak bisa nerima elo sebagai pasangan, kekasih, pacar, atau apapun namanya lah!” ucapku sambil berdiri dan mencoba pergi dari hadapannya, “Leo gue nggak bisa!” ucapku sekarang benar-benar tidak menyangka hal yang aku takutkan terjadi.
       Aku pergi dari resto harmoni dengan di tatapan oleh pengunjung dengan sinisnya, tapi aku tak perduli karena memang aku tak pernah jatuh cinta pada Leo. Kenapa harus Leo yang berkata seperti itu, padahal setiap harinya Leo pasti bertemu dengan model-model cantik yang seharusnya bisa membuat dia jatuh hati diantara mereka semua.
       “Haaaaa....” teriakku sekencang-kencangnya di atas bukit dekat pohon yang biasa aku dan Arnold datangi, setelah teriak itu aku terduduk  lemas dan menangis tersendu-sendunya. Aku tidak menyaka kalau Leo akan berbicara seperti itu, sementara hati ku ini telah diisi oleh seorang Arnold dan sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa Leo sangat mencintai aku.
       Aku sudah tidak bisa berfikir lagi kenapa tree manggo jadi begini, aku juga berfikir ini lah akhir dari tree manggo. Kami tidak akan bisa bersatu lagi dan hal ini mungkin tidak akan bisa diterima oleh Franda maupun Mike, aku sudah kehabisan akal aku juga sudah kehabisan kata-kata. Penulis yang berhasil merekayasa cerita yang berujung happy ending, kenapa pada akhirnya aku sendiri yang merasakan bahwa hidup ini sangat sulit.
       “Kalau mau nangis jangan disini!  Apa lagi sendirian?”  ucap seseorang dari belakangku, “Gue juga nggak tahu harus berkata apa dengan sobat-sobat gue kalau gue jatuh cinta sama sahabat gue sendiri!”
       “Heh, gue juga! Tapi hari ini sungguh sangat membuat gue capek berfikir dan capek hati memikirkan semuanya!” ucapku sambil melipat kakiku.
       “Gue juga! Apa lagi di tambah dengan amanat nyokap gue yang hampir membuat kepala gue terbelah jadi dua!” ucapnya, aku menatapnya tanpa berkedip tenyata itu adalah Arnold sungguh sangat tidak disangka. Ternyata perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan.
       “Jangan Ge er gue bukan jatuh cinta sama elo!” ucap Arnold yang membuat aku kembali manyun.
       “Helo, gue nggak ge-er kok rugi Ge-er sama elo!” ucapku sedikit berteriak sambil mencubit hidungnya yang sudah mirip kaya paruh burung, padahal matanya sipit sungguh tidak meching. “Jadi elo jatuh cintanya sama siapa?”
       “Mau tahu aja apa mau tahu banget?” taya Arnold sambil mengacak-ngacak rambutku seperti biasa.
       “Nggak mau tahu banget sih, Cuma penasaran aja siapa sih sahabat kita yang bisa menjatuhkan hati elo?” ucapku sambil tersenyum penuh kejengkelan kepadanya, “Franda ya?”
       “Hem nggak, nggak mungkin gue merebut Franda yang jelas-jelas udah punya suami!” ucap Arnold yang makin keras mengacak-acak rambutku.
       “Trus kalau bukan Franda siapa, Mike atau Leo?” tanyaku mulai curiga dengan kejantanannya, seketika mukanya mulai terlihat garang melebihi dari anak singa yang kelaparan.
       “Heh monyong lo, nggak tahu kode ya! Katanya penulis harusnya elo bisa baca situasi dong!” ucapnya sambil membuang muka dari mukaku.
       “Baca situasi apaan?” ucapku sambil mencubit pipinya yang juga tampak tembam.
       “Hem, tempat ini kayanya nggak romantis ya?” tanyanya mulai sedikit aneh, dengan seketika aku  memegang jidatnya, “Elo kenapa Sil, gila?”
       “Heh, entahlah entah gue yang sakit atau entah elo yang sakit! Tapi gue benar-benar stres nold!” ucapku sambil menyandar di punggungnya.
       “Kenapa?”
       “Janji ya nggak bakal marah dan nggak bakalan memutuskan persahabatan kita!” ucapku mentapnya dengan lekat-lekat.
       “Iya janji!” ucapnya sambil menunjukkan vis kearahku.
       “Gue tadi di tembak Leo! Di resto harmoni!” ucapku yang masih mendaratkan kepala di pundaknya.
       “Apa?”
       “Kan janji nggak marah!” ucapku sambil menatap matanya.
       “Terus elo terima?” tanya Arnold yang kemudian merendahkan beberapa oktaf suaranya, aku menggelengkan kepalaku kepadanya.
       “Nggak, gue udah mencintai seseorang Nold, tapi orang itu nggak memberikan kode nold ke gue! Kasihan ya gue, cerita cinta gue nggak seperti di Novel gue!” ucapku sambil mengangkat kepalaku dan berbaring di atas rumput-rumput bukit.
       “Masa, sekali-sekali nih, elo buat cerita cinta yang endingnya sad banget!” ucap Arnold yang ikutan berbaring disebelahku.
       “Iya gue mau buat, mereka itu sahabatan, akhirnya mereka saling jatuh cinta tapi diantara mereka nggak mau terbuka sampai akhirnya punya pasangan sendiri-sendiri dan mati!” ucapku sambil melayang-layangkan tanganku keatas.
       “Hehe, itu nggak sedih tahu! Eh Sil, elo kalau liat awan apa yang elo rasain?” tanyanya aneh.
       “Cinta!” ucapku sambil menatap kearahku.
       “Kenapa cinta?” tanyanya yang penasaran kenapa aku harus berkata cinta kepada awan.
       “Saat ini gue sedang jatuh cinta, meski bertepuk sebelah tangan! Tapi gue berharap awan aja yang menepuk sebelah tangan gue yang ini!” ucapku sambil menghayati awan-awan yang mulai berkumpul.
       “Gue juga, jatuh cinta untuk pertama kali tapi gue harus merasakan sakit juga karena status! Gue udah nyimpennya berbulan-bulan curhat sama nyokap!” ucapnya sambil menatapku yang tak menatapnya, “Kita berdua pacaran aja yuk, Mike bentar lagi mau nikah, Franda juga! Gimana?”
       “Gimana apa nya?” tanyaku yang mulai tersenyum lebar.
       “Umur gue udah tua banget sil, kenapa gue nggak kepikiran kalau jodoh gue itu udah dekat?” ucapnya sambil beranjak duduk.
       “Maksud elo, siapa?” tanya gue yang ikutan duduk kearahnya.
       “Iya, ada penulis galau mikirin cinta sama sahabatnya sendiri gara-gara almarhum mama sahabatnya pernah bilang yah semacam amanat lah kalau dia harus jadian sama anaknya!” ucap Arnold, itu semua mengarah kepadaku.
       “Elo tahu dari mana?” tanyaku menatap matanya tampa berkedip.
       “Gue kan fans sejati elo penulis galau! Bisa-bisanya novel-novel elo perjalanan hidup gue dan gue nggak di kasih royalti sedikitpun!” ucap Arnold mulai ngomongin uang, “Gue nggak minta royalti elo ding sil, gue Cuma minta setengah hati elo buat gue masukin gimana?”
       “Gue harus berkata jujur atau bohong?” tanyaku yang juga ikut mempermainkan dia, cukup dia berbicara mutar-mutar dari tadi.
       “Biasanya yang bohong itu bahagia dan gue sendiri aja bisa jawab elo pasti mau jawab, gue jatuh cinta sama sahabat terganteng gue dan pengusaha weding teruskses se indonesia!” ucapnya dengan nada yang menye-menye dan menjijikan, “Sekarang gue minta jawaban yang jujur?”
       “Hati gue sepenuhnya udah berhasil elo masuk sejak beberapa bulan yang lalu, sejak kita ketemu almarhum nyokap elo nold!” ucapku sambil menundukan kepalaku karena tidak ingin dia salah sangka.
       “Cius miapah! Are you really, yang bener?” ucapnya berbagai bahasa tapi dengan arti yang sama, anak aneh.
       “Nold elo tercipta dari apa sih Nold?” tanyaku sambil memegang jidatnya.
       “Gue,mungkin tanah liat atau malam!”ucapnya sekenanya, sambil tidur-tiduran lagi di atas rumput.
       “Nold yang tadi itu bercanda kan?” tanya ku memastikan dia tidak mempermainkan hatiku ini.
       “Yang mana yang gue terbuat dari tanah liat atau malam?” tanya Arnold sambil menatapku dengan aneh.
       “Bukan lah yang elo bilang minta setengah hati gue...” ucapku sambil menjambak rambutnya dengan keras, namun dia adem ayem aja.
       “Gimana ya? Kalau gue cius gimana? Gue sebenernya bingung Sil nggak bisa ngungkapin kaya Leo di  restoran di temanin musik-musik menye!” ucap Arnold yang kembali duduk dan menggosok-gosok kepalanya yang bekas aku jambak tadi.
       “Kalau elo cius gue bisa bantu Nold?” ucapku sambil memukul pundaknya.
       “Gimana caranya, tapi nggak usah ah kita dari tadi ngomong mutar-mutar mulu! Sekarang intinya elo mau nggak jadi pacar gue?” tanya Arnold yang akhirnya to the point.
       “Ih nggak romantis amat jadi cowok!” ucapku manyun, lalu dia tersenyum.
       “Karena gue bukan orang yang romantis, yang gampang jatuh cinta dan gue suka muter-muter ngomong! Udah lah gue tau elo juga suka dan bahkan jatuh cinta sama gue, elo jadi istri gue ya pokoknya harus mau!” ucapnya sambil merangkulku dan tersenyum empat jari, nampak giginya.
       “Idih maksa!” ucapku lantas terdiam.
       “Udah lah mereka nggak usah kita pikirin dulu, kalau kita pikirin mereka terus kita nggak bakalan dapet jodoh!”  ucap Arnold yang langsung menatapku dengan muka uniknya itu.
       “Lho kenapa begitu?”
       “Iya dong karena gue yakin ALLAH kirim elo kebumi ini untuk jadi tulang rusuk gue!” ucap nya sok berusaha berkata romantis.
       “Cuih, nggak cocok elo ngomong sok romantis!”  ucapku sambil merangkulnya.     “Gue kan udah bilang, gue bukan punjangga, tapi gue ARNOLD SANJAYA PUTRA RAJASA!” ucap nya dengan lantang.
       “RAJASA?”
       “Iya baru tahu ya, itu nama belakang keluarga bokap tiri gue!” ucapnya dengan nada yang sangat bangga.
       “Cie yang udah punya bokap!” ucapku mencubit hidungnya lagi, “Sayangin bokap elo itu nold meski tiri yang penting bokap, dari pada kaya gue gini  sendirian!”
       “Nanti juga Papa Raja juga bakalan jadi Papa elo Sil!” ucapnya, akhirnya perjalanan cintaku berujung dengan si mulut singa. Ternyata orang yang selama ini aku tunggu adalah sahabatku sendiri Arnold, sungguh terasa yang sangat campur aduk bahkan aku sendiri sulit mengungkapkannya.
       Diatas bukit dekat tempat favorit aku dan Arnold kami mengikat sebuah janji yang lebih dari seorang sahabat, Arnold bukan mencari pacar tapi dia mencari seorang istri dan aku juga bukan mencari pacar tapi mencari soerang suami. Mike, Leo maupun Franda tahu hal ini dan mereka hanya berkata, “Kita sudah sama-sama dewasa dan sama-sama berhak atas mendapatkan cinta dari siapapun” kami berlima masih tetap bersahabat, meski sudah memiliki pasangan masing-masing.
       Oh iya tentang Leo, dia akhirnya menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksa. Dia dapat menerima meski akhirnya dia yang paling akhir menikah setalah bertemu dengan Anggun di pesta penikahanku dan Arnold, mereka akhirnya juga ikut menyusul. Dan kenyataannya Anggun itu adalah sepupu Arnold dari pihak Mamanya, sehingga secara tidak sengaja Aku dan Leo menjadi saudara.